1. Mengapa
Budaya Nusantara heterogen?
Faktor Geografis dari heterogenya
budaya nusantara memang sangat berpengaruh. Nusantara terjadi dari kepulauan
terpanjang dan terbanyak di dunia. Luas 5.176.800 km2, terdiri atas
18.110 pulau. Dengan luas dan banyaknya pulau tersebut terjadi banyak sekali
budaya yang berkembang sepanjang dan sebanyak nusantara tersebut. Begitu pula
dengan bahasanya. Bahasa nusantara sangat banyak dan beragam, bahkan setiap
daerah memiliki bahasa daerah masihng-masing. Dari setiap pulau memiliki lebih
dari 2 bahasa daerah, jika terdiri dari 18.110 pulau maka sudah terbayangkan
berapa bahasa daerah yang terdapat dinusantara.
Berbentang alam laut,
pantai, dataran tinggi, rendah, gunung, teluk, dan selat terlahir bahasa-bahasa
yang beragam. Nusantara yang merupakan daerah kepulauan yang dengan bentang
alam begitu beragam dan luas yang terbentang menimbulkan faktor cuaca dan iklim
yang berbeda-beda sehingga bahasa yang dihasilkn dari faktor cuaca serta
bentang alam juga mempengaruhi heterogenya bahsa nusantara.
Iklim yang
dipengaruhi oleh letak nusantara yang berbatasan dengan negara-negara Asia,
Benua Australia dan bertemunya arus Samudra Hindia dan Pasifik membuat bahasa
nusantara juga terpengaruh oleh keadaan tersebut. Negara maupun segala yang
bersentuhan langsung dengan nusantara secara otomatis membentuk karakter dan
heterogenya bentuk bahasa di nusantara. Jadi secara kasar, menurut pendapat
saya Nusantara memiliki budaya khusunya bahasa yang heterogen dikarenakan
geografisnya yang heterogen pula.
2. Mengapa
Penyebaran Budaya Jawa Sampai tersebar cukup luas?
Budaya Jawa tidak hanya
berkembang di Jawa tapi juga dapat menyebar ke luar Jawa tidak hanya di
Indonesia bahkan sampai di luar negeri. Berkembang dan menyebarnya budaya
tersebut menurut pendapat saya dikarenakan banyak faktor, diantaranya adalah
dulu dibawa oleh nenek moyang kedaerah-daerah tersebut kemudian di tempat sana
dikembangkan dan dikenalkan di daerah tempat nenek moyang berpindah dari Jawa.
Faktor orang asing yang belajar budaya Jawa juga mempengaruhi persebaran dan
perkembangan budaya Jawa di luar Jawa.
Gambaran
Terbentuknya Budaya Jawa Secara Diakronis.
Secara diakronis terbentuknya
budaya Jawa masa sekarang akibat adanya sejarah yang membentuknya. Dikenaal
dengan Budaya Jaman Purba, yaitu sekitar 3-1 juta tahun yang lalu sering
disebut dengan manusia purba menghuni nusantara yang dulu daratan Sunda dan
Asia Tenggara masih tersambung muncul suatu peradaban yang menghasilkan budaya
purba. Dengan cara hidup berkelompok, bermatapencaharian berburu, meramu, dn
menangkap ikan. Bertempat tinggal dalam gua atau tepian sungai dengan peralatan
yang sedrhana dari batu, kayu, dan tulang binatang. Bercocok tanam sesui dengan
lingkkungan. Menghailkan kerajinan perunggu.
Budaya Jawa pengaruh Hindu-Budha
yang kita kenal adalah dari berbagai unsur, dari seni terdapat peninggalan
berupa candi, karya sastra baik tulis maupun lisan, perunggu, bangunan dan
motif. Sistem kepercayaan juga terpengaruh, banyak berkembang kepercayaan yang
menganut hukum Hindu-Budha. Cara bersistem pemerintaan juga trpengaruh oleh
Hindu-Budha yang dibawa oleh para saudagar pedagang dari India yang mengajarkan
cara bersistem pemerintahan. Namun seiring perkembangan datangnya orang asing
yang ke Jawa sedikit mengalami pergeseran.
Tidak lagi India dengan
Hindu-Bunyanya yang mempengaruhi budaya Jawa, Islam dari saudagar timur tengah
juga membawa pengaruh terhadap perkembangan budaya Jawa. Seni dalam bermusik,
lukisan kaligrafi, motif kain tenun, bangunan, sistem kepercayaan yang
mempengaruhi juga tempat ibadah yang bergaya Jawa-Hindu-Budha-Islam. Sistem
pemerintahan yang pada masa Hindu-Budha bergaya kerajaan yang dipimpin oleh
raja, pada masa Islam sedikit berbeda. Sistem kerajaan dengan pemimpin seorang
sultan, atau kekeratonan kasuhunan.
Bangsa asing yang datang tidak
hanya dari bangsa Asia, dari Eropa juga datang ke Jawa. Dimasa bangsa eropa
datang ke Jawa berawal keinginan untuk berdagang tapi berjalan seiring waktu
kekayaan Jawa ingin dimiliki. Bangsa Kolonial atau Belanda yang berhasil
menduduki Jakarta yang dulunya Jayakarta diduduki VOC dan merembet ke timur
sehingga mampu menguasai seluruh Jawa. Keadaan diatas kuasa bangsa asing
mempengaruhi karakter dan budaya yang berkembang di Jawa pada masa itu. Dijajah,
ditindas, dan dirampas segalanya membentuk budaya Jawa yang masih berkembang
sampai sekarang. Sistem pemerintahan, sistem hukum yang berlaku, bangunan
gedung, bangunan jalan raya, bangunan ril kereta, kendaraan, mata pencaharian,
sistem kekerabatan, pola pikir, dan etos kerja merupakan hasil kebudayaan masa
Kolonial yang mungkin masih berkembang dan bertahan sampai saat ini.
Masa penjajahan juga yang
mempengaruhi tersebarnya budaya Jawa sampai ke luar. Masyarakat Jawa yang
dianggap mampu bkerja keras untuk menjadi buruh mereka dibuang keluar untuk
bekerja disana, sedangkan mereka membawa budayanya sehingga mampu berkembang
budaya Jawa tersebut di tempat mereka bekerja.
3. Sistem
kekerabatan Masyarakat Jawa
Sistem
kekerabatan Masyarakat Sunda
Perkawinan ideal Sunda adalah
sederajat, yang dimaksud adalah secara tingkat sosial dan derajat keluarga dari
hal yang sepadan dan bobot yang imbang. Nama keluarga dari masing-masing pihak
harus memiliki kesamaan tingkat derajat dan golonganya sosialnya. Namun
terdapat juga ketimpangan sosial sistem perkawinan antar pasangan yang tidak
segolongan atau sederajat tapi hanya minoritas.
Keturunan dan kekerabatan smpai
pada 7 generasi baik melalui pihak perempuan maupun laki-laki. Urutan keatas :
kolot, embah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, gantung siwur.. Urutan
kebawah : Anak, cucu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, gantung siwur.
Sistem
Kekerabatan Masyaakat Minangkabau
Sistem perkawinan matrilineal
berlaku pada suku minang. Kepentingan diurus oleh perempuan yang disebut
‘mamak’ saudara laki-laki ibu yang bertindak sebagai ‘niniek mamak’ kerabat
laki-laki dai perempuan. Sistem perkawinan adalah dari satu golongan suku. Jika
terjadi perkawinan dari berbeda suku maka haus keluar dari suku tersebut dan
dari keturunn perempuan membentuk klen suku baru. Sesudah perkawinan, laki-laki
ditinggal di tempat perempuan. Jika bercerai laki-laki meninggalkan rumah
istrinya, anak ikut ibunya. Poligami diperbolehkan.
Sistem
Kekerabatan Masyarakat Bali
Sistem perkawinan masyarakat bali
yang ideal adalah warga yang satu golongan kasta. Endogemi klen, (anak dari dua
laki-laki bersaudara). Perkawinan yang berbeda kasta dianggap tidak sah atau
tidak diakui oleh keluraga kedua belah pihak. Namun ada peraturan khusus bagi
wanita jika ingin menikah dengan yang berbeda kasta. Wanita harus menikah
dengan pria yang kastanya lebih tinggi. Cara pemuda meminang dan menikahi
dengan cara meminang langsung pada keluarga gadis. Jika tak direstui dapat
dilarikan (mrangkat, ngrorod)
4. Grebeg
Upacara Grebeg merupakanritual
keagamaan selamatan keraton/wilayah sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan
terhadapa Tuhan Yang Maha Esa. Upacara Grebeg biasanya berupa grebegan suatu
Gunungan yang berisi nasi, buah, sayur, makan khas, makanan sesaji, hasil bumi,
dan segala sesuatu yang diberikan tuhan melalui alam sebagai wujud persembahan
kepada alam dan syukur serta permohonan tadi. Tiap daerah memiliki cara sendiri
merayakan Grebeg. Secara umum Grebeg diadakan berteptapan dengan hari atau
bulan yang dipercayai membawa berkah. Bulan Sura, Besar, dan Mulud merupakan
bulan yang biasanya sering diadakan upacara Grebeg.
Nyadran
Nyadran berasal dari kata Sadran
atau Srada. Nyadran biasanya dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Ruwah
menjelang bulan Ramadhan. Tujuan pelaksanaan nyadran adalah memohon ampunan
atas nenek moyang mereka dan persembahan serta syukur kepada Tuhan. Pelaksanaan
Nyadran biasanya dengan mengadakan bersih makam, pembacaan doa, pemberian sesaji
di tempat keramat, dan mengadakan syukuran dirumah dan berdoa bersama.
Pelaksanaan nyadran di setiap daerah berbeda-beda karena berbagai faktor yang
mempengaruhi.
Mitoni
Mitoni merupakan
rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh
sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata 'am' (awalan am
menunjukkan kata kerja) + '7' (pitu) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan
pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau
suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang
perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung
senantiasa memperoleh keselamatan. Mitoni tidak dapat
diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk
menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari
Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan
diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari.
Sedangkan tempat untuk
menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa
disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum
petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan
masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya
diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup
untuk menyelenggarakan upacara.
Secara teknis,
penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang
dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial,
dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan.
Serangkaian upacara yang
diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
1.
Siraman atau mandi
merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik
maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu
dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak
mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara
siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga
yang dianggap sebagai yang tertua.
2.
Upacara memasukkan telor
ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut
dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di
tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan
mudah tanpa aral melintang.
3.
Upacara brojolan
atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan
Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu
ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan
mudah tanpa kesulitan. Upacara brojolan
dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari
ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di
atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi.
Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
4.
Upacara ganti busana
dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang
berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan
harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam
lambang kain.
Motif kain tersebut adalah:
Motif kain tersebut adalah:
1.
sidomukti (melambangkan kebahagiaan),
2.
sidoluhur (melambangkan kemuliaan),
3.
truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),
4.
parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
5.
semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi
bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
6.
udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir
selalu menyenangkan),
7.
cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya).
Kain terakhir yang
tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem dengan kemben motif
dringin. Upacara ini dilakukan di senthong tengah.
5.
Upacara memutus lilitan
janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti
dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan
maksud agar kelahiran bayi lancar.
6.
Upacara memecahkan
periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah
memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih
mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
7.
Upacara minum jamu sorongan,
melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti
didorong (disurung).
8.
Upacara nyolong
endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri
yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan
mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan dilaksanakannya
seluruh upacara tersebut di atas, upacara mitoni dianggap selesai ditandai
dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan
atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara
tersebut.
Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah
merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah
meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam
rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang
telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya
dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja. Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual
untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau
(Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam
Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh
masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau
kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk
yang menimpa. Melaksanakan upacara tiwah bukan pekerjaan mudah. Diperlukan
persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain
itu, rangkaian prosesi tiwah ini sendiri memakan waktu hingga berhari-hari
nonstop, bahkan bisa sampai satu bulan lebih lamanya. Ritual ini sudah
dilaksanakan sejak ratusan tahun silam, jadi perlu dilestarikan. Mengangkat
kerangka orang yang sudah meninggal kemudian menaruhnya di dalam sandung atau
rumah kecil dengan tidak menyentuh tanah. Sebelum upacara tiwah dilaksanakan,
terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan
Agama Kaharingan, setelah kematian, orang yang meninggal dunia itu belum bisa
langsung masuk ke dalam surga. Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk
mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju Bukit Malian, dan di sana
menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat
Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara tiwah. Puncak
acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-belulang yang digali dari
kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun,
sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau,
sapi, dan babi.
Adat istiadat Suku
Dayak. Suku dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang
tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri
sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Sejarah
suku dayak pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan
yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras
mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan
melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku
Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang
Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin
mundur ke dalam. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak
Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun
1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak
terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya
terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama
masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Dibawah ini ada adat
istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia
supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat
sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang
dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal
dari pedalaman Kalimantan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar