Rabu, 07 Januari 2015

Kebudayaan Nusantara yang Heterogen

1.      Mengapa Budaya Nusantara heterogen?
Faktor Geografis dari heterogenya budaya nusantara memang sangat berpengaruh. Nusantara terjadi dari kepulauan terpanjang dan terbanyak di dunia. Luas 5.176.800 km2, terdiri atas 18.110 pulau. Dengan luas dan banyaknya pulau tersebut terjadi banyak sekali budaya yang berkembang sepanjang dan sebanyak nusantara tersebut. Begitu pula dengan bahasanya. Bahasa nusantara sangat banyak dan beragam, bahkan setiap daerah memiliki bahasa daerah masihng-masing. Dari setiap pulau memiliki lebih dari 2 bahasa daerah, jika terdiri dari 18.110 pulau maka sudah terbayangkan berapa bahasa daerah yang terdapat dinusantara.
Berbentang alam laut, pantai, dataran tinggi, rendah, gunung, teluk, dan selat terlahir bahasa-bahasa yang beragam. Nusantara yang merupakan daerah kepulauan yang dengan bentang alam begitu beragam dan luas yang terbentang menimbulkan faktor cuaca dan iklim yang berbeda-beda sehingga bahasa yang dihasilkn dari faktor cuaca serta bentang alam juga mempengaruhi heterogenya bahsa nusantara.
Iklim yang dipengaruhi oleh letak nusantara yang berbatasan dengan negara-negara Asia, Benua Australia dan bertemunya arus Samudra Hindia dan Pasifik membuat bahasa nusantara juga terpengaruh oleh keadaan tersebut. Negara maupun segala yang bersentuhan langsung dengan nusantara secara otomatis membentuk karakter dan heterogenya bentuk bahasa di nusantara. Jadi secara kasar, menurut pendapat saya Nusantara memiliki budaya khusunya bahasa yang heterogen dikarenakan geografisnya yang heterogen pula.
2.      Mengapa Penyebaran Budaya Jawa Sampai tersebar cukup luas?
Budaya Jawa tidak hanya berkembang di Jawa tapi juga dapat menyebar ke luar Jawa tidak hanya di Indonesia bahkan sampai di luar negeri. Berkembang dan menyebarnya budaya tersebut menurut pendapat saya dikarenakan banyak faktor, diantaranya adalah dulu dibawa oleh nenek moyang kedaerah-daerah tersebut kemudian di tempat sana dikembangkan dan dikenalkan di daerah tempat nenek moyang berpindah dari Jawa. Faktor orang asing yang belajar budaya Jawa juga mempengaruhi persebaran dan perkembangan budaya Jawa di luar Jawa.
Gambaran Terbentuknya Budaya Jawa Secara Diakronis.
Secara diakronis terbentuknya budaya Jawa masa sekarang akibat adanya sejarah yang membentuknya. Dikenaal dengan Budaya Jaman Purba, yaitu sekitar 3-1 juta tahun yang lalu sering disebut dengan manusia purba menghuni nusantara yang dulu daratan Sunda dan Asia Tenggara masih tersambung muncul suatu peradaban yang menghasilkan budaya purba. Dengan cara hidup berkelompok, bermatapencaharian berburu, meramu, dn menangkap ikan. Bertempat tinggal dalam gua atau tepian sungai dengan peralatan yang sedrhana dari batu, kayu, dan tulang binatang. Bercocok tanam sesui dengan lingkkungan. Menghailkan kerajinan perunggu.
Budaya Jawa pengaruh Hindu-Budha yang kita kenal adalah dari berbagai unsur, dari seni terdapat peninggalan berupa candi, karya sastra baik tulis maupun lisan, perunggu, bangunan dan motif. Sistem kepercayaan juga terpengaruh, banyak berkembang kepercayaan yang menganut hukum Hindu-Budha. Cara bersistem pemerintaan juga trpengaruh oleh Hindu-Budha yang dibawa oleh para saudagar pedagang dari India yang mengajarkan cara bersistem pemerintahan. Namun seiring perkembangan datangnya orang asing yang ke Jawa sedikit mengalami pergeseran.
Tidak lagi India dengan Hindu-Bunyanya yang mempengaruhi budaya Jawa, Islam dari saudagar timur tengah juga membawa pengaruh terhadap perkembangan budaya Jawa. Seni dalam bermusik, lukisan kaligrafi, motif kain tenun, bangunan, sistem kepercayaan yang mempengaruhi juga tempat ibadah yang bergaya Jawa-Hindu-Budha-Islam. Sistem pemerintahan yang pada masa Hindu-Budha bergaya kerajaan yang dipimpin oleh raja, pada masa Islam sedikit berbeda. Sistem kerajaan dengan pemimpin seorang sultan, atau kekeratonan kasuhunan.
Bangsa asing yang datang tidak hanya dari bangsa Asia, dari Eropa juga datang ke Jawa. Dimasa bangsa eropa datang ke Jawa berawal keinginan untuk berdagang tapi berjalan seiring waktu kekayaan Jawa ingin dimiliki. Bangsa Kolonial atau Belanda yang berhasil menduduki Jakarta yang dulunya Jayakarta diduduki VOC dan merembet ke timur sehingga mampu menguasai seluruh Jawa. Keadaan diatas kuasa bangsa asing mempengaruhi karakter dan budaya yang berkembang di Jawa pada masa itu. Dijajah, ditindas, dan dirampas segalanya membentuk budaya Jawa yang masih berkembang sampai sekarang. Sistem pemerintahan, sistem hukum yang berlaku, bangunan gedung, bangunan jalan raya, bangunan ril kereta, kendaraan, mata pencaharian, sistem kekerabatan, pola pikir, dan etos kerja merupakan hasil kebudayaan masa Kolonial yang mungkin masih berkembang dan bertahan sampai saat ini.
Masa penjajahan juga yang mempengaruhi tersebarnya budaya Jawa sampai ke luar. Masyarakat Jawa yang dianggap mampu bkerja keras untuk menjadi buruh mereka dibuang keluar untuk bekerja disana, sedangkan mereka membawa budayanya sehingga mampu berkembang budaya Jawa tersebut di tempat mereka bekerja.
3.      Sistem kekerabatan Masyarakat Jawa
Sistem kekerabatan Masyarakat Sunda
Perkawinan ideal Sunda adalah sederajat, yang dimaksud adalah secara tingkat sosial dan derajat keluarga dari hal yang sepadan dan bobot yang imbang. Nama keluarga dari masing-masing pihak harus memiliki kesamaan tingkat derajat dan golonganya sosialnya. Namun terdapat juga ketimpangan sosial sistem perkawinan antar pasangan yang tidak segolongan atau sederajat tapi hanya minoritas.
Keturunan dan kekerabatan smpai pada 7 generasi baik melalui pihak perempuan maupun laki-laki. Urutan keatas : kolot, embah, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, gantung siwur.. Urutan kebawah : Anak, cucu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg, gantung siwur.
Sistem Kekerabatan Masyaakat Minangkabau
Sistem perkawinan matrilineal berlaku pada suku minang. Kepentingan diurus oleh perempuan yang disebut ‘mamak’ saudara laki-laki ibu yang bertindak sebagai ‘niniek mamak’ kerabat laki-laki dai perempuan. Sistem perkawinan adalah dari satu golongan suku. Jika terjadi perkawinan dari berbeda suku maka haus keluar dari suku tersebut dan dari keturunn perempuan membentuk klen suku baru. Sesudah perkawinan, laki-laki ditinggal di tempat perempuan. Jika bercerai laki-laki meninggalkan rumah istrinya, anak ikut ibunya. Poligami diperbolehkan.
Sistem Kekerabatan Masyarakat Bali
Sistem perkawinan masyarakat bali yang ideal adalah warga yang satu golongan kasta. Endogemi klen, (anak dari dua laki-laki bersaudara). Perkawinan yang berbeda kasta dianggap tidak sah atau tidak diakui oleh keluraga kedua belah pihak. Namun ada peraturan khusus bagi wanita jika ingin menikah dengan yang berbeda kasta. Wanita harus menikah dengan pria yang kastanya lebih tinggi. Cara pemuda meminang dan menikahi dengan cara meminang langsung pada keluarga gadis. Jika tak direstui dapat dilarikan (mrangkat, ngrorod)
4.      Grebeg
Upacara Grebeg merupakanritual keagamaan selamatan keraton/wilayah sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan terhadapa Tuhan Yang Maha Esa. Upacara Grebeg biasanya berupa grebegan suatu Gunungan yang berisi nasi, buah, sayur, makan khas, makanan sesaji, hasil bumi, dan segala sesuatu yang diberikan tuhan melalui alam sebagai wujud persembahan kepada alam dan syukur serta permohonan tadi. Tiap daerah memiliki cara sendiri merayakan Grebeg. Secara umum Grebeg diadakan berteptapan dengan hari atau bulan yang dipercayai membawa berkah. Bulan Sura, Besar, dan Mulud merupakan bulan yang biasanya sering diadakan upacara Grebeg.
Nyadran
Nyadran berasal dari kata Sadran atau Srada. Nyadran biasanya dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Ruwah menjelang bulan Ramadhan. Tujuan pelaksanaan nyadran adalah memohon ampunan atas nenek moyang mereka dan persembahan serta syukur kepada Tuhan. Pelaksanaan Nyadran biasanya dengan mengadakan bersih makam, pembacaan doa, pemberian sesaji di tempat keramat, dan mengadakan syukuran dirumah dan berdoa bersama. Pelaksanaan nyadran di setiap daerah berbeda-beda karena berbagai faktor yang mempengaruhi.
Mitoni
Mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata 'am' (awalan am menunjukkan kata kerja) + '7' (pitu) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan. Mitoni tidak dapat diselenggarakan sewaktu-waktu, biasanya memilih hari yang dianggap baik untuk menyelenggarakan upacara mitoni. Hari baik untuk upacara mitoni adalah hari Selasa (Senin siang sampai malam) atau Sabtu (Jumat siang sampai malam) dan diselenggarakan pada waktu siang atau sore hari.
Sedangkan tempat untuk menyelenggarakan upacara biasanya dipilih di depan suatu tempat yang biasa disebut dengan pasren, yaitu senthong tengah. Pasren erat sekali dengan kaum petani sebagai tempat untuk memuja Dewi Sri, dewi padi. Karena kebanyakan masyarakat sekarang tidak mempunyai senthong, maka upacara mitoni biasanya diselenggarakan di ruang keluarga atau ruang yang mempunyai luas yang cukup untuk menyelenggarakan upacara.
Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan.
Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara mitoni adalah:
1.      Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. Upacara siraman dilakukan di kamar mandi dan dipimpin oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua.
2.      Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh sang suami melalui perut dari atas perut lalu telur dilepas sehingga pecah. Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
3.      Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi.
Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
4.      Upacara ganti busana dilakukan dengan jenis kain sebanyak 7 (tujuh) buah dengan motif kain yang berbeda. Motif kain dan kemben yang akan dipakai dipilih yang terbaik dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain.
Motif kain tersebut adalah:
1.      sidomukti (melambangkan kebahagiaan),
2.      sidoluhur (melambangkan kemuliaan),
3.      truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),
4.      parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
5.      semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
6.      udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan),
7.      cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).
Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem dengan kemben motif dringin. Upacara ini dilakukan di senthong tengah.
5.      Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu. Janur/lawe dapat diganti dengan daun kelapa atau janur. Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud agar kelahiran bayi lancar.
6.      Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah.
7.      Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
8.      Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut di atas, upacara mitoni dianggap selesai ditandai dengan doa yang dipimpin oleh dukun dengan mengelilingi selamatan. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut.
Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja. Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa. Melaksanakan upacara tiwah bukan pekerjaan mudah. Diperlukan persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu, rangkaian prosesi tiwah ini sendiri memakan waktu hingga berhari-hari nonstop, bahkan bisa sampai satu bulan lebih lamanya. Ritual ini sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam, jadi perlu dilestarikan. Mengangkat kerangka orang yang sudah meninggal kemudian menaruhnya di dalam sandung atau rumah kecil dengan tidak menyentuh tanah. Sebelum upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian, orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam surga. Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara tiwah. Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun, sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau, sapi, dan babi.

Adat istiadat Suku Dayak. Suku dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Sejarah suku dayak pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Dibawah ini ada adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar